Selasa, 09 Desember 2014

Resensi Rindu - Tere Liye] Sebuah Perjalanan Merubuhkan Belenggu Rindu


Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

DSC_0079Terus terang keinginan untuk membeli novel ini lebih kepada rasa tertarik untuk ikut lomba resensinya. Setelah menang dalam suatu quis resensi novel baru-baru ini, menjadikan dorongan untuk ikut serta lagi, lebih besar dari pada sebelumnya. Dan penggalan sinopsis di atas membuat saya langsung memutuskan untuk membeli novel terbaru Tere Liye – Rindu.

 ***

Hari itu, 1 Desember 1938 merupakan hari yang istimewa untuk Kota Makassar. Pertama kalinya dalam sejarah kota itu disinggahi oleh sebuah kapal yang sangat besar pada zamannya. Ya, Blitar Holland demikian tertulis di lambung kapalnya. Dengan panjang 136 meter dan lebar 16 meter, tidak ada bangunan lain di Makassar yang bisa menandingi tinggi menara uapnya kala itu.

Tapi hari itu bersejarah bukan satu-satunya disebabkan karena besarnya kapal tersebut, bukan juga karena banyaknya muatan kargo yang akan dibawa, namun karena pelayaran kali ini merupakan perjalanan yang sangat istimewa. Sebuah perjalanan yang menuntut pengorbanan moril dan materil. Sebuah perjalanan yag panjang, bermula dari Kota Makassar, menyeberangi  selat sulawesi menuju Surabaya, singgah di Semarang dan Batavia, melintasi selat sunda menuju Lampung, menjelajahi Samudera Indonesia, mengarungi lautan Pasifik hingga sampai di Jeddah. Sebuah perjalanan yang amat sangat dinanti dan dirindukan oleh para penumpangnya setelah sekian lama menunggu.

Adalah Daeng Andipati, seorang pengusaha muda dari Kota Makassar.  Berpendidikan. Pernah mengenyam pendidikan di Rotterdam School of Commerce. Daeng Andipati berencana memulai sebuah perjalanan panjang bersama istri dan dua anak gadisnya, Elsa dan Anna.

Hari itu bukan hanya daeng Andipati tapi juga ada Gurutta yang juga bergairah untuk menyambut perjalanan panjangnya. Dia mencukur rambutnya di sebuah salon yg tidak jauh dari pelabuhan makassar. Ahmad Karaeng namanya, namun penduduk Makassar dan sekitarnya lebih mengenalnya sebagai Gurutta. Masih terbilang keturunan Raja gowa dan Sultan Hasanuddin. Beliau merupakan seorang ulama masyur dan menjadi Imam Masjid Katangka.

Namun, tidak seperti keluarga Daeng Andipati dan Gurutta, yang menyambut gembira perjalanannya. Ambo Uleng, mantan pelaut yang melamar menjadi kelasi di Kapal Blitar Holland, terlihat diam dan tak banyak bicara. Ambo Uleng memang membutuhkan perjalanan ini tapi bukan untuk mengantarnya ke suatu tujuan, namun untuk pergi lenyap menghilang dari kota asalnya, meninggalkan masa lalu yang menyesakkan.

Hanya ada dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai…..Satu karena kebencian yang sangat dalam, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.” (hal 33) Demikian tutur Kapten Phillips, si Kapten Kapal ketika mewawancarainya.

Di awal-awal cerita, terlihat jalinan kisah cenderung sederhana. Menceritakan tentang awal kapal Blitar Holland berlayar dari Makassar ke Surabaya. Karena perjalanan ini juga melibatkan anak-anak, sehingga Gurutta memberikan ide agar selama perjalanan anak-anak tetap bisa bersekolah dan mengaji. Maka datanglah tokoh Bonda Upe yang bersedia untuk mengajari anak-anak mengaji tiap sore harinya. Kemudian dari perjalanan Surabaya – Semarang, hadirlah tokoh Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soeryaningrat, dua tokoh pendidikan di Surabaya. Mereka yang akan bergantian mengajari anak-anak di sekolah kapal. Tokoh Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet hadir saat pelayaran rute Semarang – Batavia. Kedua tokoh ini yang meramaikan suasana perjalanan di kapal dengan dijadikan bahan olokan dan becanda oleh Elsa dan Anna, kedua putri Daeng Andipati.

Hebatnya Tere Liye adalah dalam menciptakan bumbu cerita dan membuat rangkaian  cerita hubungan antar tokoh. Di awal cerita, disebutkan tas Anna yang berisikan pakaiannya hilang, sehingga Daeng Andipati memutuskan untuk pergi berbelannja pakaian ke Pasar Surabaya.   Disini konflik mulai dimunculkan dalam upaya membuat jalan cerita tidak mendatar. Terjadi kerusuhan dan membuat Daeng Andipati terpisah dari Anna, anaknya. Secara kebetulan Ambo Uleng, yang juga sedang belanja pakaian berada tidak jauh dari posisi Anna. Ambo Uleng lah nantinya yang akan membawa Anna kembali ke kapal setelah terpisah dari ayah dan kakaknya. Satu kejadian telah merekatkan hubungan antara Daeng Andipati dengan Ambo Uleng.

… dan kotak Pandora itu pun terbuka

Namun seperti yang saya bilang di awal tulisan, perjalanan penumpang kapal  Blitar Holland merupakan perjalanan yang tak biasa, perjalanan panjang menuju suatu tempat suci, perjalanan lima tokoh dalam novel ini yang merindukan untuk mendapatkan suatu kedamaian di dalam hati masing-masing. Masing-masing dari mereka membawa beban berat karena pertanyaan-pertanyaan di masa lalu yang belum terjawab. Padahal jalan menuju tempat suci Mekkah sudah mulai dilalui. Akankah pertanyaan-pertanyaan mereka akan terjawab?

Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan” (hal.222)

Ternyata Bonda Upe, guru mengaji anak-anak, yang lebih dahulu melontarkan pertanyaannya. Dan melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, perjalanan Makassae-Surabaya-Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Colombo, Jeddah menjadi sebuah perjalanan yang membuka kisah masa lalu dari para tokoh cerita novel ini. Empat tokoh lainnya menunggu waktu, kapan tepatnya pertanyaan dari mereka akan terjawab.

Walaupun sudah enggan ketika menerima ajakan Gurutta untuk makan soto di sebuah kedai makan dekat Stad Huis, kantor Balai Kota Batavia, akhirnya Bonda Upe luluh juga setelah mendengar suara Anna datang menjemput. Keengganan Bonda Upe bukan hanya keengganan berkumpul dengan orang banyak seperti biasa, kali ini merupakan keengganan untuk menjejakkan kaki di tanah Batavia. Kota yang telah merenggut kegadisannya, telah merenggut kemerdekaannya dengan menjadikan dirinya seorang Cabo selama lima belas tahun.  Cukup dengan satu panggilan singkat “Ling Ling?” dari seorang perempuan yang ada di kedai tersebut, masa lalu Bonda Upe pun menyeruak mencari jalannya untuk diungkapkan kembali.

“Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini? Apakah tanah suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?”

Itulah pertanyaan kedua dari perjalanan ini, dan kali ini dipertanyakan oleh Daeng Andipati, seorang ayah yang sangat menyayangi kedua anaknya.

Tak Ada Gading Yang Tak Retak

Begitulah, novel ini sempurna menghanyutkan perasaan pembacanya. Perjalanan panjang Makassar – Jeddah menjadi singkat dari semua konflik-konflik yang tercipta. Rasanya tak kuasa menebak bagaimana akhir dari kisahnya.

Saya sendiri, sangat dag-dig-dug menanti akhir dari pertanyaan kelima yang belum terlontar. Bab cerita sudah memasuki akhir, namun tokoh kelima belum juga diberi “kesempatan” untuk mengutarakan pertanyaannya. Melalui suatu plot kejadian perompakan oleh bajak laut Somalia, akhirnya membuat Gurutta , sosok yang selama ini menjadi tempat untuk mengutarakan pertanyaan-pertanyaan, sosok yang selama ini selalu mengetahui jawaban atas pertanyaaan, memaksa mencari jawaban yang selama ini dia cari kepada Ambo Uleng.

Namun, ini yang tidak disadari oleh Tere Liye. Bahwa pembaca dengan mudah menebak bahwa Gurutta merupakan salah satu dari lima tokoh yang membawa pertanyaan dalam pelayarannya. Ini sudah dindikasikan dari kegelisahan Gurutta sejak gagal membujuk Bonda Upe bicara di kali pertamanya, setelah peristiwa makan soto di Batavia.

Lantas pertanyaan-pertanyaan itu mengungkung kepalanya. Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki? (hal 232)

Dan dipertegas lagi pada halaman 316. “Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seseorang yang selalu pandai menjawab menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sendiri

Peristiwa Gori si tukang pukul yang hampir membunuh Daeng Andipati pun terasa dipaksakan. Dikisahkan bahwa Gori dahulunya merupakan tukang pukul kepercayaan Daeng Patoto, ayah Daeng Andipati. Akibat suatu kesalahan, dia dipecat dan akhirnya memendam dendam. Tetapi kenapa dendam tersebut harus dibayarkan dengan membunuh Daeng Andipati? Padahal masih ada enam orang saudara lain dari Daeng Andipati, seandainya dendam tersebut harus dibayarkan dengan membunuh anak Daeng Patoto. Dan juga kenapa tokoh Gori hadir dalam pelayaran dari Batavia?Bagaimana seorang Gori bisa tahu Daeng Andipati ada dalam kapal itu, kalau seandainya Gori telah berada terlebih dahulu di Batavia? Jawaban logisnya karena Tere Liye ingin membangun cerita yang menghubungkannya dengan dendam masa lalunya.

Terdapat juga hal-hal kecil yang mungkin luput dari pertimbangan Tere Liye. Misalnya dari cerita istri Daeng Andipati yang ngidam keripik balado, ketika kapal singgah di pelabuhan Padang. Apakah pada tahun 1938 makanan tersebut sudah menjadi jajanan khas Padang, seperti sekarang ini?  Mungkin butuh penelusuran lebih lanjut.

Demikian juga dengan halaman 170 dan 171penjelasan dengan bentuk tanda baca dalam kurung  terhadap keterangan bangunan Outstadt dan Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij pada masa kini, sesungguhnya tidaklah perlu. Cukup dibuatkan dalam bentuk catatan kaki saja. Karena ini akan mengganggu setting cerita.

Kata-kata Indah Itu…

Sungguh pun demikian, novel ini sangat bertabur kata kata indah nan romantic dari awal hingga akhir cerita. Pembaca akan dibuai oleh kekuatan diksi dari Tere Liye. Maka simaklah nasihat bijak dari Gurutta kepada Ambo Uleng dan Mbah Kakung berikut :

Tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka jangan kau rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba di dermaga terakhirnya.”

Biarkan waktu mengobati seluruh kesedihan, Kang Mas. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi selembar kesedihan. Bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati.”

***

Disamping kaya akan muatan sejarah, berupa kuatnya deskripsi situasi dan keadaan kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini juga banyak memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang menghubungkannya dengan pertanyaan lain dari para tokohnya. Peristiwa mesin kapal rusak hingga mati, kejadian Mbah Putri meninggal mendadak hingga kejadian perompakan kapal oleh bajak laut Somalia, semuanya terangkum untuk membuat pembaca tak berhenti membaca dari awal hingga akhir. Lalu dari siapakah pertanyaan ketiga dan keempat sesungguhnya  akan terlontar? Dan bagaimana kisahnya? Bagi anda yang belum membaca, jangan sungkan untuk menyisihkan Rp 63.000 dari uang anda untuk membeli novel ini. Karena novel ini menyuguhkan  pembelajaran tentang kehidupan, menyuguhkan pembelajaran tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian kepada sesorang yang seharusnya disayangi, tentang kehilangan dan cinta sejati, tentang kemunafikan. Bukankah hal-hal tersebut dekat dengan kehidupan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar