Minggu, 21 Desember 2014

industri keuangan syari'ah menghadapi MEA

DALAM dua dekade terakhir, industri jasa keuangan syariah global telah berkembang cukup pesat. Termasuk di tengah ketidakpastian pemulihan pasar keuangan dunia saat ini. Begitu pula halnya dengan di Indonesia. Dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia diperkirakan mampu tumbuh menjadi salah satu negara dengan potensi perkembangan industri keuangan syariah yang sangat besar.
Berdasar penilaian Global Islamic Finance Report (GIFR) 2013, Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan potensi pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Naik dua peringkat dari 2012.
Di tingkat domestik, industri jasa keuangan syariah juga berkembang pesat dan secara perlahan mampu berperan serta dalam mendukung perekonomian nasional. Dari kondisi tersebut, terlihat setidaknya ada tiga alasan utama mengapa industri keuangan syariah Indonesia harus terus dikembangkan.
Pertama, inklusi keuangan, dalam hal ini kita harus meningkatkan penyediaan layanan perbankan untuk masyarakat yang tidak menggunakan jasa keuangan konvensional. Kedua, financial deepening, yakni meningkatkan peran jasa keuangan untuk melayani ekonomi dengan memperkenalkan lebih banyak pilihan instrumen keuangan yang unik. Dan alasan ketiga, sebagai instrumen untuk memfasilitasi aliran modal, terutama bagi mereka yang memiliki preferensi khusus pada keuangan syariah.
Saat ini Indonesia telah memiliki industri keuangan syariah yang cukup lengkap. Mulai industri perbankan syariah, industri keuangan non-bank syariah, dan pasar modal syariah. Selama dua dekade terakhir, tiga sektor industri jasa keuangan syariah tersebut telah menunjukkan perkembangan cukup pesat.
Hingga triwulan kedua 2014 ini, nilai aset industri perbankan syariah telah mencapai Rp 250,55 triliun. Pertumbuhan industri perbankan syariah sepanjang tiga tahun terakhir rata-rata mencapai 36 persen. Masih lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan industri perbankan konvensional. Dengan rata-rata pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, industri perbankan syariah berhasil meningkatkan market share-nya hingga hampir mencapai 5 persen.
Nilai aset industri keuangan non-bank syariah (IKNB syariah) pada triwulan kedua 2014 mencapai Rp 43,65 triliun dengan market share hampir mencapai 10 persen. Sementara itu, pada triwulan kedua 2014, nilai kapitalisasi saham syariah dan sukuk negara syariah di pasar modal masing-masing mencapai Rp 2.955,8 triliun serta Rp 179,1 triliun dengan market share saham dan sukuk negara syariah masing-masing 58,63 persen dan 9,83 persen.
Dari sisi perkembangan kelembagaan, jumlah lembaga keuangan syariah Indonesia juga terus bertambah. Hingga triwulan II 2014 ini, jumlah perbankan syariah di Indonesia telah mencapai 12 bank umum syariah (BUS), 21 unit usaha syariah (UUS), dan 163 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) dengan total jaringan kantor mencapai 2.582 kantor, yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Sementara itu, hingga triwulan II 2014, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah di Indonesia telah mencapai 48 lembaga asuransi syariah dan 48 perusahaan pembiayaan syariah.
Pada 2015 Indonesia akan memasuki suatu era perekonomian baru. Pada tahun tersebut negara-negara ASEAN bersepakat untuk melakukan integrasi perekonomian dalam bentuk a single ASEAN market. Di level ASEAN, industri JKS Indonesia hanya kalah oleh Malaysia yang menduduki posisi kedua dunia.
Berdasar laporan dari Islamic Financial Services Board2013, dilihat dari rasio profitabilitasnya, industri perbankan syariah Indonesia lebih kompetitif jika dibandingkan dengan Malaysia. Hal itu terlihat dari nilai return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) perbankan syariah Indonesia yang mengalahkan Malaysia. Sementara dilihat dari besaran market share perbankan syariah di level ASEAN, GIFR menempatkan Indonesia (5 persen) pada peringkat kedua setelah Malaysia (18 persen). Modal itu cukup membuat kita lebih optimistis menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Dari beberapa hal di atas, terdapat beberapa tantangan yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan industri jasa keuangan syariah Indonesia. Pertama, tingkat market share dan profitabilitas industri keuangan syariah kita masih relatif rendah dibanding yang konvensional. Rata-rata ROA perbankan syariah kita dua tahun terakhir baru mencapai 2,4 persen. Sedangkan perbankan konvensional mencapai 3,1 persen. Sementara itu, market share perbankan syariah dan IKNB syariah masing-masing baru mencapai 5 persen dan 10 persen.
Tantangan berikutnya adalah masih rendahnya literasi keuangan masyarakat kita terhadap produk dan jasa keuangan yang ditawarkan lembaga keuangan syariah. Selain itu, masih terbatasnya ahli-ahli produk dan jasa keuangan syariah, terutama untuk mendukung inovasi produk/jasa keuangan syariah dan mengevaluasi kelayakan pembiayaan proyek-proyek strategis. Tantangan yang lain adalah masih belum optimalnya pembiayaan bagi proyek-proyek strategis seperti proyek-proyek infrastruktur pemerintah, energi dan eksploitasi sumber daya alam, serta transportasi dan komunikasi.
Oleh karena itu, untuk menjaga momentum pertumbuhan industri jasa keuangan syariah di Indonesia, OJK dan seluruh stakeholder terkait akan terus melakukan berbagai upaya strategis dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Pertama, OJK akan secara terus-menerus melakukan edukasi dan capacity building bagi industri jasa keuangan syariah Indonesia. Kedua, OJK harus mendorong terciptanya sinergi dan kerja sama di antara pelaku pasar di industri keuangan syariah, yaitu pasar modal syariah, perbankan syariah, asuransi syariah, koperasi syariah, dan lembaga keuangan mikrosyariah lainnya.
Ketiga, OJK akan mendorong penguatan infrastruktur manajemen risiko dan budaya risiko di industri untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya gejolak/volatilitas ekonomi di masa depan. Keempat, OJK bakal secara kontinu menyiapkan kerangka regulasi serta pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan syariah. Kelima, OJK akan terus meningkatkan kerja sama dengan semua pihak, baik di level domestik maupun internasional, untuk senantiasa mengikuti arah perkembangan kebijakan keuangan syariah di dunia internasional.
Saat ini OJK juga sedang menyusun masterplanpengembangan keuangan syariah. Dengan begitu, pengembangan industri jasa keuangan syariah Indonesia ke depan dapat dilaksanakan secara optimal. Khususnya dalam menyambut era MEA 2015 untuk IKNB syariah dan pasar modal syariah serta MEA 2020 untuk perbankan syariah. (*)
*) Ketua Dewan Komisioner OJK

Selasa, 16 Desember 2014


Dibukanya Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah memiliki pangsa pasar tersendiri dan memiliki prospek yang sangat strategis. Diluncurkannya sukuk negara dan sukuk global juga membuktikan antusias yang luar biasa bagi para investor.

Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat dan wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam. Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat dan wakaf semakin besar. Apalagi, baru-baru ini Presiden SBY me-launching wakaf tunai. Fenomena tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesadaran untuk menerapkan syariat Islam dalam bidang ekonomi.

Krisis keuangan dewasa ini berasal dari krisis subprime AS 2007. Ini adalah krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar oleh George Soros, Joseph Stiglitz, dan Dana Moneter Internasional (IMF) (Jaffee, 2008; Tong dan Wei, 2008). Sekarang krisis tersebut benar-benar menjadi krisis perekonomian global.

Karena tidak adanya sifat batasan perekonomian global, keterbalikan perekonomian di Amerika Serikat menciptakan kejutan sistemis yang dialihkan ke perekonomian di seluruh dunia. Jadi, krisis tersebut telah menyebabkan kerusakan berat pada pasar dan lembaga di inti sistem keuangan global (IMF, 2008). Akibatnya, perbankan dan lembaga keuangan Islam di seluruh dunia sepertinya 'terlindungi' dari kejutan keuangan global.

Oleh sebab itu, muncul gugatan terhadap sistem ekonomi kapitalis. Yakni, sistem ekonomi yang berlandaskan pasar yang mulai menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Banyak pihak berpendapat perlunya direvisi secara total sistem perekonomian Indonesia dengan mengarusutamakan prinsip dan praktik ekonomi syariah, mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dan terbukti bahwa perbankan syariah kebal dari gelombang krisis global.

Efek positifnya, 10 bank top Islam terus menunjukkan dorongan kinerja dengan mencatat rata-rata pertumbuhan tahunannya sekitar 30 persen untuk 2008. Sementara bank-bank konvensional berkonsolidasi dan mengurangi pekerjanya, bank-bank Islam khususnya di negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk terus berkembang dan merekrut karyawan baru.

Krisis saat ini tampaknya menambah kelemahan perbankan konvensional tempat sistem keuangan global tersebut dibangun. Sistem konvensional memungkinkan penciptaan debit ganda pada aset tertentu tanpa terjadi transaksi riil yang dapat dilakukan dengan pertukaran default kredit.

Sebaliknya, keuangan Islam meminta agar transaksi keuangan harus ditunjang dengan aset riil dan sejalan dengan hukum Islam, syariah. Yang mengejutkan, bank-bank Islam seperti Al-Rajhi Bank Saudi Arabia, Gedung Keuangan Kuwait, Bank Islam Dubai, dan Maybank Islamic tumbuh stabil selama krisis.

Karena kebaikan dan keuntungan perbankan Islam, permintaan atas produk jasanya meluas, bukan hanya di negara-negara Islam, namun juga negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Menurut data Biro Perbankan Syariah BI, dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi syariah.

Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif dan sekaligus tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Mengingat peluang yang prospektif tersebut, rasanya sia-sia bila sistem perekonomian Islam tidak dibangun di atas pilar yang kuat. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah strategis:

Pertama, peningkatan sosialisasi konsep ekonomi Islam secara komprehensif. Kedua, pengembangan dan penyempurnaan institusi-institusi ekonomi syariah yang sudah ada. Jangan sampai transaksi-transaksi yang dilakukan tidak sesuai prinsip-prinsip ajaran Islam.

Ketiga, perbaikan dan penyempurnaan regulasi-regulasi yang ada. Keempat, peningkatan kualitas SDM yang memiliki kualifikasi dan wawasan ekonomi syariah yang memadai.

Kelima, inovasi produk. Keberhasilan ekonomi Islam di masa depan banyak bergantung pada kemampuan perbankan syariah dalam menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, dan berdasarkan kebutuhan masyarakat, tapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Tidak menutup kemungkinan ekonomi syariah juga menghadapi tantangan. Pertama, hasil survei BNI Syari'ah (2005) menunjukkan bahwa penetrasi aset perbankan syariah pada 2004 baru sebesar 1,15 persen, sementara itu sekitar 51 persen masyarakat Indonesia menyatakan tidak setuju dengan bunga. Dengan demikian, secara optimis disimpulkan potensi pasar perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah masih sangat besar. Karena itu, sosialisasi kepada masyarakat dengan para alim ulama, lembaga pendidikan, dan perbankan syariah merupakan suatu keniscayaan.

Peran para ulama, tokoh masyarakat, dan Lembaga Perguruan Tinggi Islam sangat strategis dalam menggalakkan sosialisasi ini, di samping sebagai praktisi Lembaga Keuangan Syariah.

Kedua, masih lemahnya jaringan atau sinergi yang kuat antara sesama lembaga keuangan syariah dengan lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang ekonomi umat, seperti dengan lembaga zakat dan wakaf.

Keempat, belum berkembangnya ilmu ekonomi syariah yang dapat dikembangkan melalui dunia pendidikan dan pengetahuan, baik itu di kampus-kampus, penelitian-penelitian ilmiah, kelompok-kelompok kajian, ataupun media massa.

Memang, saat ini ilmu ekonomi syariah telah berkembang tidak hanya di dunia pendidikan Islam, namun telah memasuki dunia pendidikan secara umum. Kampus-kampus besar di Indonesia telah melakukan kajian-kajian akademis terhadap fenomena dan perkembangan keilmuan ekonomi syariah.

Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi.

Selasa, 09 Desember 2014

Resensi Rindu - Tere Liye] Sebuah Perjalanan Merubuhkan Belenggu Rindu


Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

DSC_0079Terus terang keinginan untuk membeli novel ini lebih kepada rasa tertarik untuk ikut lomba resensinya. Setelah menang dalam suatu quis resensi novel baru-baru ini, menjadikan dorongan untuk ikut serta lagi, lebih besar dari pada sebelumnya. Dan penggalan sinopsis di atas membuat saya langsung memutuskan untuk membeli novel terbaru Tere Liye – Rindu.

 ***

Hari itu, 1 Desember 1938 merupakan hari yang istimewa untuk Kota Makassar. Pertama kalinya dalam sejarah kota itu disinggahi oleh sebuah kapal yang sangat besar pada zamannya. Ya, Blitar Holland demikian tertulis di lambung kapalnya. Dengan panjang 136 meter dan lebar 16 meter, tidak ada bangunan lain di Makassar yang bisa menandingi tinggi menara uapnya kala itu.

Tapi hari itu bersejarah bukan satu-satunya disebabkan karena besarnya kapal tersebut, bukan juga karena banyaknya muatan kargo yang akan dibawa, namun karena pelayaran kali ini merupakan perjalanan yang sangat istimewa. Sebuah perjalanan yang menuntut pengorbanan moril dan materil. Sebuah perjalanan yag panjang, bermula dari Kota Makassar, menyeberangi  selat sulawesi menuju Surabaya, singgah di Semarang dan Batavia, melintasi selat sunda menuju Lampung, menjelajahi Samudera Indonesia, mengarungi lautan Pasifik hingga sampai di Jeddah. Sebuah perjalanan yang amat sangat dinanti dan dirindukan oleh para penumpangnya setelah sekian lama menunggu.

Adalah Daeng Andipati, seorang pengusaha muda dari Kota Makassar.  Berpendidikan. Pernah mengenyam pendidikan di Rotterdam School of Commerce. Daeng Andipati berencana memulai sebuah perjalanan panjang bersama istri dan dua anak gadisnya, Elsa dan Anna.

Hari itu bukan hanya daeng Andipati tapi juga ada Gurutta yang juga bergairah untuk menyambut perjalanan panjangnya. Dia mencukur rambutnya di sebuah salon yg tidak jauh dari pelabuhan makassar. Ahmad Karaeng namanya, namun penduduk Makassar dan sekitarnya lebih mengenalnya sebagai Gurutta. Masih terbilang keturunan Raja gowa dan Sultan Hasanuddin. Beliau merupakan seorang ulama masyur dan menjadi Imam Masjid Katangka.

Namun, tidak seperti keluarga Daeng Andipati dan Gurutta, yang menyambut gembira perjalanannya. Ambo Uleng, mantan pelaut yang melamar menjadi kelasi di Kapal Blitar Holland, terlihat diam dan tak banyak bicara. Ambo Uleng memang membutuhkan perjalanan ini tapi bukan untuk mengantarnya ke suatu tujuan, namun untuk pergi lenyap menghilang dari kota asalnya, meninggalkan masa lalu yang menyesakkan.

Hanya ada dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai…..Satu karena kebencian yang sangat dalam, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.” (hal 33) Demikian tutur Kapten Phillips, si Kapten Kapal ketika mewawancarainya.

Di awal-awal cerita, terlihat jalinan kisah cenderung sederhana. Menceritakan tentang awal kapal Blitar Holland berlayar dari Makassar ke Surabaya. Karena perjalanan ini juga melibatkan anak-anak, sehingga Gurutta memberikan ide agar selama perjalanan anak-anak tetap bisa bersekolah dan mengaji. Maka datanglah tokoh Bonda Upe yang bersedia untuk mengajari anak-anak mengaji tiap sore harinya. Kemudian dari perjalanan Surabaya – Semarang, hadirlah tokoh Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soeryaningrat, dua tokoh pendidikan di Surabaya. Mereka yang akan bergantian mengajari anak-anak di sekolah kapal. Tokoh Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet hadir saat pelayaran rute Semarang – Batavia. Kedua tokoh ini yang meramaikan suasana perjalanan di kapal dengan dijadikan bahan olokan dan becanda oleh Elsa dan Anna, kedua putri Daeng Andipati.

Hebatnya Tere Liye adalah dalam menciptakan bumbu cerita dan membuat rangkaian  cerita hubungan antar tokoh. Di awal cerita, disebutkan tas Anna yang berisikan pakaiannya hilang, sehingga Daeng Andipati memutuskan untuk pergi berbelannja pakaian ke Pasar Surabaya.   Disini konflik mulai dimunculkan dalam upaya membuat jalan cerita tidak mendatar. Terjadi kerusuhan dan membuat Daeng Andipati terpisah dari Anna, anaknya. Secara kebetulan Ambo Uleng, yang juga sedang belanja pakaian berada tidak jauh dari posisi Anna. Ambo Uleng lah nantinya yang akan membawa Anna kembali ke kapal setelah terpisah dari ayah dan kakaknya. Satu kejadian telah merekatkan hubungan antara Daeng Andipati dengan Ambo Uleng.

… dan kotak Pandora itu pun terbuka

Namun seperti yang saya bilang di awal tulisan, perjalanan penumpang kapal  Blitar Holland merupakan perjalanan yang tak biasa, perjalanan panjang menuju suatu tempat suci, perjalanan lima tokoh dalam novel ini yang merindukan untuk mendapatkan suatu kedamaian di dalam hati masing-masing. Masing-masing dari mereka membawa beban berat karena pertanyaan-pertanyaan di masa lalu yang belum terjawab. Padahal jalan menuju tempat suci Mekkah sudah mulai dilalui. Akankah pertanyaan-pertanyaan mereka akan terjawab?

Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan” (hal.222)

Ternyata Bonda Upe, guru mengaji anak-anak, yang lebih dahulu melontarkan pertanyaannya. Dan melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, perjalanan Makassae-Surabaya-Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Colombo, Jeddah menjadi sebuah perjalanan yang membuka kisah masa lalu dari para tokoh cerita novel ini. Empat tokoh lainnya menunggu waktu, kapan tepatnya pertanyaan dari mereka akan terjawab.

Walaupun sudah enggan ketika menerima ajakan Gurutta untuk makan soto di sebuah kedai makan dekat Stad Huis, kantor Balai Kota Batavia, akhirnya Bonda Upe luluh juga setelah mendengar suara Anna datang menjemput. Keengganan Bonda Upe bukan hanya keengganan berkumpul dengan orang banyak seperti biasa, kali ini merupakan keengganan untuk menjejakkan kaki di tanah Batavia. Kota yang telah merenggut kegadisannya, telah merenggut kemerdekaannya dengan menjadikan dirinya seorang Cabo selama lima belas tahun.  Cukup dengan satu panggilan singkat “Ling Ling?” dari seorang perempuan yang ada di kedai tersebut, masa lalu Bonda Upe pun menyeruak mencari jalannya untuk diungkapkan kembali.

“Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini? Apakah tanah suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?”

Itulah pertanyaan kedua dari perjalanan ini, dan kali ini dipertanyakan oleh Daeng Andipati, seorang ayah yang sangat menyayangi kedua anaknya.

Tak Ada Gading Yang Tak Retak

Begitulah, novel ini sempurna menghanyutkan perasaan pembacanya. Perjalanan panjang Makassar – Jeddah menjadi singkat dari semua konflik-konflik yang tercipta. Rasanya tak kuasa menebak bagaimana akhir dari kisahnya.

Saya sendiri, sangat dag-dig-dug menanti akhir dari pertanyaan kelima yang belum terlontar. Bab cerita sudah memasuki akhir, namun tokoh kelima belum juga diberi “kesempatan” untuk mengutarakan pertanyaannya. Melalui suatu plot kejadian perompakan oleh bajak laut Somalia, akhirnya membuat Gurutta , sosok yang selama ini menjadi tempat untuk mengutarakan pertanyaan-pertanyaan, sosok yang selama ini selalu mengetahui jawaban atas pertanyaaan, memaksa mencari jawaban yang selama ini dia cari kepada Ambo Uleng.

Namun, ini yang tidak disadari oleh Tere Liye. Bahwa pembaca dengan mudah menebak bahwa Gurutta merupakan salah satu dari lima tokoh yang membawa pertanyaan dalam pelayarannya. Ini sudah dindikasikan dari kegelisahan Gurutta sejak gagal membujuk Bonda Upe bicara di kali pertamanya, setelah peristiwa makan soto di Batavia.

Lantas pertanyaan-pertanyaan itu mengungkung kepalanya. Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki? (hal 232)

Dan dipertegas lagi pada halaman 316. “Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seseorang yang selalu pandai menjawab menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sendiri

Peristiwa Gori si tukang pukul yang hampir membunuh Daeng Andipati pun terasa dipaksakan. Dikisahkan bahwa Gori dahulunya merupakan tukang pukul kepercayaan Daeng Patoto, ayah Daeng Andipati. Akibat suatu kesalahan, dia dipecat dan akhirnya memendam dendam. Tetapi kenapa dendam tersebut harus dibayarkan dengan membunuh Daeng Andipati? Padahal masih ada enam orang saudara lain dari Daeng Andipati, seandainya dendam tersebut harus dibayarkan dengan membunuh anak Daeng Patoto. Dan juga kenapa tokoh Gori hadir dalam pelayaran dari Batavia?Bagaimana seorang Gori bisa tahu Daeng Andipati ada dalam kapal itu, kalau seandainya Gori telah berada terlebih dahulu di Batavia? Jawaban logisnya karena Tere Liye ingin membangun cerita yang menghubungkannya dengan dendam masa lalunya.

Terdapat juga hal-hal kecil yang mungkin luput dari pertimbangan Tere Liye. Misalnya dari cerita istri Daeng Andipati yang ngidam keripik balado, ketika kapal singgah di pelabuhan Padang. Apakah pada tahun 1938 makanan tersebut sudah menjadi jajanan khas Padang, seperti sekarang ini?  Mungkin butuh penelusuran lebih lanjut.

Demikian juga dengan halaman 170 dan 171penjelasan dengan bentuk tanda baca dalam kurung  terhadap keterangan bangunan Outstadt dan Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij pada masa kini, sesungguhnya tidaklah perlu. Cukup dibuatkan dalam bentuk catatan kaki saja. Karena ini akan mengganggu setting cerita.

Kata-kata Indah Itu…

Sungguh pun demikian, novel ini sangat bertabur kata kata indah nan romantic dari awal hingga akhir cerita. Pembaca akan dibuai oleh kekuatan diksi dari Tere Liye. Maka simaklah nasihat bijak dari Gurutta kepada Ambo Uleng dan Mbah Kakung berikut :

Tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka jangan kau rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba di dermaga terakhirnya.”

Biarkan waktu mengobati seluruh kesedihan, Kang Mas. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi selembar kesedihan. Bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati.”

***

Disamping kaya akan muatan sejarah, berupa kuatnya deskripsi situasi dan keadaan kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini juga banyak memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang menghubungkannya dengan pertanyaan lain dari para tokohnya. Peristiwa mesin kapal rusak hingga mati, kejadian Mbah Putri meninggal mendadak hingga kejadian perompakan kapal oleh bajak laut Somalia, semuanya terangkum untuk membuat pembaca tak berhenti membaca dari awal hingga akhir. Lalu dari siapakah pertanyaan ketiga dan keempat sesungguhnya  akan terlontar? Dan bagaimana kisahnya? Bagi anda yang belum membaca, jangan sungkan untuk menyisihkan Rp 63.000 dari uang anda untuk membeli novel ini. Karena novel ini menyuguhkan  pembelajaran tentang kehidupan, menyuguhkan pembelajaran tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian kepada sesorang yang seharusnya disayangi, tentang kehilangan dan cinta sejati, tentang kemunafikan. Bukankah hal-hal tersebut dekat dengan kehidupan kita?

usaha makanan tradisional

Gurihnya Laba Bisnis Makanan Tradisional Instan

               



Bisnis.com, JAKARTA - Peluang bisnis makanan tradisional kini tak hanya berpusat di daerah asalnya saja. Banyak masyarakat yang tinggal di daerah lain yang ingin mencicipi cita rasa khas tersebut.
Sadar akan peluang ini, beberapa pelaku usaha kuliner mengembangkan inovasi produk santapan tradisional dalam kemasan agar konsumen bisa menyantap makanan itu kapan saja dan di mana saja dengan cara yang praktis.
Salah satu pengusaha muda yang menelurkan inovasi makanan tradisional adalah Chumairo Ibnatul Arobiyah, 25. Perempuan yang akrab dipanggil Yayah ini memperkenalkan makanan khas Yogyakarta yaitu gudeg instan yang dibungkus dalam kaleng. Ide Yayah membuat gudeg instan muncul pada 2009.
“Jika ditanya makanan khas Yogyakarta ya pasti gudeg. Saya melihat banyak wisatawan yang ingin membawa gudeg ke rumah mereka. Namun, gudeg mengandung santan yang membuat makanan tersebut gampang basi. Nah, dari situ saya terpikir untuk membuat gudeg dalam kemasan yang praktis dan tahan lama. Caranya memproduksi gudeg instan dalam kaleng,” ujar Yayah kepada Bisnis.
Untuk memulai bisnis tersebut, Yayah menyiapkan dana sebesar Rp5 juta. Modal itu diperoleh dari hasil memenangi sebuah kompetisi wirausaha untuk mahasiswa. Berbekal dana itu, Yayah kemudian memulai berbisnis makanan gudeg dalam kaleng. Sadar akan pengetahuannya soal pangan olahan yang masih minim, Yayah yang kala itu masih berstatus mahasiswa datang ke pusat pengalengan makanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wonosari, untuk berkonsultasi dengan beberapa profesor ahli pangan olahan.
Dari situ, Yayah akhirnya mengetahui bahwa LIPI juga menyediakan jasa pengalengan makanan. “Untuk menghemat biaya produksi, saya memutuskan untuk memakai jasa LIPI daripada saya harus membeli mesin pengalengan sendiri. Harganya sudah pasti mahal sekali,” kenangnya. Setelah melalui beberapa percobaan, Yayah akhirnya berhasil menelurkan gudeg instan. Yayah menamai produk ini sesuai dengan namanya yaitu Gudeg Kaleng Mbak Yayah.
Untuk menjaga cita rasa gudeg, Yayah tetap memasak gudeg secara tradisional di rumahnya. Produknya juga tidak menggunakan bahan peng awet. Produk Yayah bahkan telah mendapatkan beberapa sertifikat hingga gudeg kaleng aman dikonsumsi.
Isi gudeg kaleng buatan Yayah tidak berbeda dengan gudeg yang dijajakan di warung atau rumah
makan lainnya. Gudeg gurih tersebut berisi krecek, daging ayam kampung yang disuwir, telur bebek, tempe, tak lupa gori atau nangka muda. Sejauh ini, Yayah baru menyediakan gudeg kaleng dengan berat 250 gram. Harga gudeg dibanderol Rp25.000 per kaleng.
Rasa yang lezat dan harga yang pas di kantong membuat Yayah kebanjiran orderan, baik dari pasar lokal maupun luar kota. Melihat besarnya peluang yang bisa digarap, Yayah pun meningkatkan produksi gudeg kaleng buatannya. “Saya masih meraba-raba pasar gudeg kaleng ini. Ternyata banyak konsumen yang suka. Bahkan sebagian besar permintaan datang dari luar pulau, misalnya Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Untuk memenuhi kebutuhan, saya coba menaikkan target produksi. Kalau dulu hanya 50 kaleng setiap dua minggu sekali, kini saya bisa produksi 3.000 kaleng gudeg per bulan,” kata perempuan yang kini memiliki tujuh orang pekerja.
Bukan hanya pasar Nusantara, gudeg kaleng buatan Yayah pun disukai oleh orang asing. “Ada teman-teman saya yang bawa gudeg instan sebagai oleh-oleh untuk teman-temannya di luar negeri. Ternyata, teman - temannya suka dengan gudeg itu,” ujar Yayah.
Kini, berkat kerja keras dan ke mampuannya melihat peluang, Yayah mulai memanen buah kesuksesan. Perempuan yang hobi menyanyi dan jalan-jalan ini mengantongi omzet sekitar Rp75
juta per bulan dengan margin keuntungan hingga 30% dari tiap kaleng gudeg.
Untuk target beberapa tahun ke depan, Yayah ingin memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi gudeg kaleng. Dia juga memiliki impian gudeg instan miliknya bisa menjadi ikon kuliner asli Yogyakarta.
NASI LIWET INSTAN
Pelaku usaha lain yang membuat inovasi makanan tradisional instan adalah Andris Wijaya. Pria yang lahir 34 tahun yang lalu ini memproduksi nasi liwet dan nasi uduk kemasan yang disajikan secara praktis. Dengan produk ini, konsumen bisa memasak nasi tradisional hanya dengan menggunakan rice cooker.
Pada mulanya, lelaki asli Garut ini tidak bertujuan menjual nasi liwet instan. Semula, Andris berniat menaikkan pamor beras Garut di pasar. Beras Garut memiliki kelebihan dibandingkan dengan beras -beras curah lainnya yaitu warnanya putih alami, rasa tidak hambar, dan berkualitas tinggi.
Sayangnya, tidak banyak konsumen yang tahu kelebihan tersebut. “Kalangan yang tahu kelebihan beras Garut adalah produsen besar. Mereka rata-rata membeli beras curah dari saya. Ternyata, sampai di pasar, mereka mengganti karung beras Garut dengan merek sendiri. Saya miris melihat kejadian ini karena konsumen tidak akan tahu kelebihan beras produksi Garut.
Saya pun memutuskan untuk membuat gebrakan yaitu membuat varian baru dari bahan baku beras Garut.” Andris yang lahir dan besar di Garut melihat potensi besar datang dari sektor pariwisata. Lelaki lulusan Politeknik Bandung jurusan teknik mesin tersebut memilih memproduksi makanan khas sunda yaitu nasi liwet.
Andris pun berniat menjadikan nasi liwet sebagai buah tangan khas Garut. Andris memulai eksperimennya untuk membuat liwet instan pada 2010. Berbekal ilmu dari bangku kuliah, dia lantas memodifikasi mesin yang bisa menggiling dan mencuci beras sekaligus.
“Karena konsepnya nasi liwet instan, saya ingin penyajian praktis. Konsumen tidak perlu mencuci beras terlebih dahulu dan semua bahan baku dikeringkan. Konsumen tinggal campurkan semua bahan dan masak dengan rice cooker. Ini sesuai dengan jargon kami ‘Makan Cepat, Tetap Nikmat.”
Andris memulai bisnisnya dengan modal Rp30 juta. Uang tersebut dia gunakan untuk membuat mesin dan membeli bahan baku nasi liwet, yaitu ikan teri, jambal, bawang merah, minyak, dan lainnya. Produknya diberi label ‘Nasi Liwet 1001’.
Saat itu, Andris dibantu oleh dua orang pekerja. Setelah 6 bulan bereksperimen untuk mendapatkan rasa yang pas, dia pun menjual nasi liwet instan pertamanya pada awal 2011. Awalnya, dia hanya bisa menghasilkan 50 dus nasi liwet selama 1 minggu. Andris pun menjajakan nasi liwet buatannya ke beberapa toko oleh-oleh khas Garut.
Sayangnya, hal tersebut tidak berjalan mulus. Banyak produsen yang masih asing dengan produk nasi liwet instan dan menolak untuk menjualnya. Andris tak patah semangat dan tetap menjajakan inovasinya dari satu toko ke toko lain hingga akhirnya liwet buatannya diterima masyarakat.
“Untuk membuat mereka percaya, saya selalu bawa contoh nasi liwet untuk mereka masak. Ternyata banyak yang tertarik karena wanginya sangat menggoda selera dan rasa yang tak kalah dengan liwet yang dijual di restoran.
Dari situ, pesanan mulai berdatangan. Saya menjual nasi liwet instan via toko online dan dibantu oleh beberapa reseller,” ujarnya. Promosi dari mulut ke mulut membuat nama Nasi Liwet 1001 semakin terkenal. Konsumen pun datang dari berbagai daerah, utamanya Bandung dan Jakarta.
Bahkan, Andris telah mengekspor nasi liwet instan ke AS mulai tahun ini. "Ada konsumen yang mengontak saya melalui websites. Ternyata dia ingin mengajak kerja sama untuk mengirimkan nasi liwet instan ke Amerika Serikat.
Setelah melalui proses perijinan dan uji kandungan gizi, Alhamdulillah sekitar 11.000 kemasan produk saya dijual di pasar AS,” kata Andris seraya bersyukur. Andris pun mulai memperluas lini bisnisnya dengan menambah target produksi dan varian rasa baru.
Kini, lelaki yang meneruskan bisnis beras milik orang tuanya tersebut memproduksi sekitar 3.000 kemasan nasi liwet instan per hari. Melihat jumlah kapasitas produksi yang fantastis, Andris jelas menangguk untung yang besar.
Setiap bulannya, Andris bisa menanggok puluhan hingga ratusan juta rupiah . “Harga eceran nasi instan berkisar antara Rp17.000–Rp27.500 per kemasan. Margin keuntungan yang didapat dari tiap kemasan sekitar 20%” kata Andris.

Editor : Fatkhul Maskur