Resensi Rindu - Tere Liye] Sebuah Perjalanan Merubuhkan Belenggu Rindu
Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan.
Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang
kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima
kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

Terus
terang keinginan untuk membeli novel ini lebih kepada rasa tertarik
untuk ikut lomba resensinya. Setelah menang dalam suatu quis resensi
novel baru-baru ini, menjadikan dorongan untuk ikut serta lagi, lebih
besar dari pada sebelumnya. Dan penggalan sinopsis di atas membuat saya
langsung memutuskan untuk membeli novel terbaru Tere Liye – Rindu.
***
Hari itu, 1 Desember 1938 merupakan hari yang istimewa untuk Kota
Makassar. Pertama kalinya dalam sejarah kota itu disinggahi oleh sebuah
kapal yang sangat besar pada zamannya. Ya, Blitar Holland demikian
tertulis di lambung kapalnya. Dengan panjang 136 meter dan lebar 16
meter, tidak ada bangunan lain di Makassar yang bisa menandingi tinggi
menara uapnya kala itu.
Tapi hari itu bersejarah bukan satu-satunya disebabkan karena
besarnya kapal tersebut, bukan juga karena banyaknya muatan kargo yang
akan dibawa, namun karena pelayaran kali ini merupakan perjalanan yang
sangat istimewa. Sebuah perjalanan yang menuntut pengorbanan moril dan
materil. Sebuah perjalanan yag panjang, bermula dari Kota Makassar,
menyeberangi selat sulawesi menuju Surabaya, singgah di Semarang dan
Batavia, melintasi selat sunda menuju Lampung, menjelajahi Samudera
Indonesia, mengarungi lautan Pasifik hingga sampai di Jeddah. Sebuah
perjalanan yang amat sangat dinanti dan dirindukan oleh para
penumpangnya setelah sekian lama menunggu.
Adalah Daeng Andipati, seorang pengusaha muda dari Kota Makassar.
Berpendidikan. Pernah mengenyam pendidikan di Rotterdam School of
Commerce. Daeng Andipati berencana memulai sebuah perjalanan panjang
bersama istri dan dua anak gadisnya, Elsa dan Anna.
Hari itu bukan hanya daeng Andipati tapi juga ada
Gurutta yang
juga bergairah untuk menyambut perjalanan panjangnya. Dia mencukur
rambutnya di sebuah salon yg tidak jauh dari pelabuhan makassar. Ahmad
Karaeng namanya, namun penduduk Makassar dan sekitarnya lebih
mengenalnya sebagai
Gurutta. Masih terbilang keturunan Raja gowa
dan Sultan Hasanuddin. Beliau merupakan seorang ulama masyur dan menjadi
Imam Masjid Katangka.
Namun, tidak seperti keluarga Daeng Andipati dan
Gurutta, yang
menyambut gembira perjalanannya. Ambo Uleng, mantan pelaut yang melamar
menjadi kelasi di Kapal Blitar Holland, terlihat diam dan tak banyak
bicara. Ambo Uleng memang membutuhkan perjalanan ini tapi bukan untuk
mengantarnya ke suatu tujuan, namun untuk pergi lenyap menghilang dari
kota asalnya, meninggalkan masa lalu yang menyesakkan.
“
Hanya ada dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh
berhenti bekerja di tempat yang dia sukai…..Satu karena kebencian yang
sangat dalam, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.” (hal 33) Demikian tutur Kapten Phillips, si Kapten Kapal ketika mewawancarainya.
Di awal-awal cerita, terlihat jalinan kisah cenderung sederhana.
Menceritakan tentang awal kapal Blitar Holland berlayar dari Makassar ke
Surabaya. Karena perjalanan ini juga melibatkan anak-anak, sehingga
Gurutta memberikan ide agar selama perjalanan anak-anak tetap bisa bersekolah dan mengaji. Maka datanglah tokoh
Bonda
Upe yang bersedia untuk mengajari anak-anak mengaji tiap sore harinya.
Kemudian dari perjalanan Surabaya – Semarang, hadirlah tokoh Bapak
Mangoenkoesoemo dan Bapak Soeryaningrat, dua tokoh pendidikan di
Surabaya. Mereka yang akan bergantian mengajari anak-anak di sekolah
kapal. Tokoh Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet hadir saat
pelayaran rute Semarang – Batavia. Kedua tokoh ini yang meramaikan
suasana perjalanan di kapal dengan dijadikan bahan olokan dan becanda
oleh Elsa dan Anna, kedua putri Daeng Andipati.
Hebatnya Tere Liye adalah dalam menciptakan bumbu cerita dan membuat
rangkaian cerita hubungan antar tokoh. Di awal cerita, disebutkan tas
Anna yang berisikan pakaiannya hilang, sehingga Daeng Andipati
memutuskan untuk pergi berbelannja pakaian ke Pasar Surabaya. Disini
konflik mulai dimunculkan dalam upaya membuat jalan cerita tidak
mendatar. Terjadi kerusuhan dan membuat Daeng Andipati terpisah dari
Anna, anaknya. Secara kebetulan Ambo Uleng, yang juga sedang belanja
pakaian berada tidak jauh dari posisi Anna. Ambo Uleng lah nantinya yang
akan membawa Anna kembali ke kapal setelah terpisah dari ayah dan
kakaknya. Satu kejadian telah merekatkan hubungan antara Daeng Andipati
dengan Ambo Uleng.
… dan kotak Pandora itu pun terbuka
Namun seperti yang saya bilang di awal tulisan, perjalanan penumpang
kapal Blitar Holland merupakan perjalanan yang tak biasa, perjalanan
panjang menuju suatu tempat suci, perjalanan lima tokoh dalam novel ini
yang merindukan untuk mendapatkan suatu kedamaian di dalam hati
masing-masing. Masing-masing dari mereka membawa beban berat karena
pertanyaan-pertanyaan di masa lalu yang belum terjawab. Padahal jalan
menuju tempat suci Mekkah sudah mulai dilalui. Akankah
pertanyaan-pertanyaan mereka akan terjawab?
“
Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan” (hal.222)
Ternyata
Bonda Upe, guru mengaji anak-anak, yang lebih dahulu
melontarkan pertanyaannya. Dan melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut,
perjalanan Makassae-Surabaya-Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda
Aceh, Colombo, Jeddah menjadi sebuah perjalanan yang membuka kisah masa
lalu dari para tokoh cerita novel ini. Empat tokoh lainnya menunggu
waktu, kapan tepatnya pertanyaan dari mereka akan terjawab.
Walaupun sudah enggan ketika menerima ajakan
Gurutta untuk makan soto di sebuah kedai makan dekat
Stad Huis, kantor Balai Kota Batavia, akhirnya
Bonda Upe luluh juga setelah mendengar suara Anna datang menjemput. Keengganan
Bonda
Upe bukan hanya keengganan berkumpul dengan orang banyak seperti biasa,
kali ini merupakan keengganan untuk menjejakkan kaki di tanah Batavia.
Kota yang telah merenggut kegadisannya, telah merenggut kemerdekaannya
dengan menjadikan dirinya seorang Cabo selama lima belas tahun. Cukup
dengan satu panggilan singkat “Ling Ling?” dari seorang perempuan yang
ada di kedai tersebut, masa lalu
Bonda Upe pun menyeruak mencari jalannya untuk diungkapkan kembali.
“Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini?
Apakah tanah suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya
sendiri? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?”
Itulah pertanyaan kedua dari perjalanan ini, dan kali ini
dipertanyakan oleh Daeng Andipati, seorang ayah yang sangat menyayangi
kedua anaknya.
Tak Ada Gading Yang Tak Retak
Begitulah, novel ini sempurna menghanyutkan perasaan pembacanya.
Perjalanan panjang Makassar – Jeddah menjadi singkat dari semua
konflik-konflik yang tercipta. Rasanya tak kuasa menebak bagaimana akhir
dari kisahnya.
Saya sendiri, sangat dag-dig-dug menanti akhir dari pertanyaan kelima
yang belum terlontar. Bab cerita sudah memasuki akhir, namun tokoh
kelima belum juga diberi “kesempatan” untuk mengutarakan pertanyaannya.
Melalui suatu plot kejadian perompakan oleh bajak laut Somalia, akhirnya
membuat
Gurutta , sosok yang selama ini menjadi tempat untuk
mengutarakan pertanyaan-pertanyaan, sosok yang selama ini selalu
mengetahui jawaban atas pertanyaaan, memaksa mencari jawaban yang selama
ini dia cari kepada Ambo Uleng.
Namun, ini yang tidak disadari oleh Tere Liye. Bahwa pembaca dengan
mudah menebak bahwa Gurutta merupakan salah satu dari lima tokoh yang
membawa pertanyaan dalam pelayarannya. Ini sudah dindikasikan dari
kegelisahan Gurutta sejak gagal membujuk
Bonda Upe bicara di kali pertamanya, setelah peristiwa makan soto di Batavia.
“
Lantas pertanyaan-pertanyaan itu mengungkung kepalanya. Apakah
mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas
pengetahuan yang ia miliki? (hal 232)
Dan dipertegas lagi pada halaman 316. “
Lihatlah kemari wahai
gelap malam. Lihatlah seseorang yang selalu pandai menjawab menjawab
pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan
sendiri”
Peristiwa Gori si tukang pukul yang hampir membunuh Daeng Andipati
pun terasa dipaksakan. Dikisahkan bahwa Gori dahulunya merupakan tukang
pukul kepercayaan Daeng Patoto, ayah Daeng Andipati. Akibat suatu
kesalahan, dia dipecat dan akhirnya memendam dendam. Tetapi kenapa
dendam tersebut harus dibayarkan dengan membunuh Daeng Andipati? Padahal
masih ada enam orang saudara lain dari Daeng Andipati, seandainya
dendam tersebut harus dibayarkan dengan membunuh anak Daeng Patoto. Dan
juga kenapa tokoh Gori hadir dalam pelayaran dari Batavia?Bagaimana
seorang Gori bisa tahu Daeng Andipati ada dalam kapal itu, kalau
seandainya Gori telah berada terlebih dahulu di Batavia? Jawaban
logisnya karena Tere Liye ingin membangun cerita yang menghubungkannya
dengan dendam masa lalunya.
Terdapat juga hal-hal kecil yang mungkin luput dari pertimbangan Tere
Liye. Misalnya dari cerita istri Daeng Andipati yang ngidam keripik
balado, ketika kapal singgah di pelabuhan Padang. Apakah pada tahun 1938
makanan tersebut sudah menjadi jajanan khas Padang, seperti sekarang
ini? Mungkin butuh penelusuran lebih lanjut.
Demikian juga dengan halaman 170 dan 171penjelasan dengan bentuk tanda baca dalam kurung terhadap keterangan bangunan
Outstadt dan
Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij pada masa kini, sesungguhnya tidaklah perlu. Cukup dibuatkan dalam bentuk catatan kaki saja. Karena ini akan mengganggu
setting cerita.
Kata-kata Indah Itu…
Sungguh pun demikian, novel ini sangat bertabur kata kata indah nan
romantic dari awal hingga akhir cerita. Pembaca akan dibuai oleh
kekuatan diksi dari Tere Liye. Maka simaklah nasihat bijak dari
Gurutta kepada Ambo Uleng dan Mbah Kakung berikut :
“
Tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia
rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka jangan
kau rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba di dermaga
terakhirnya.”
“
Biarkan waktu mengobati seluruh kesedihan, Kang Mas. Ketika kita
tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah
hilang, musnah, maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat
terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi selembar kesedihan.
Bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati.”
***
Disamping kaya akan muatan sejarah, berupa kuatnya deskripsi situasi
dan keadaan kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini
juga banyak memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang
menghubungkannya dengan pertanyaan lain dari para tokohnya. Peristiwa
mesin kapal rusak hingga mati, kejadian Mbah Putri meninggal mendadak
hingga kejadian perompakan kapal oleh bajak laut Somalia, semuanya
terangkum untuk membuat pembaca tak berhenti membaca dari awal hingga
akhir. Lalu dari siapakah pertanyaan ketiga dan keempat sesungguhnya
akan terlontar? Dan bagaimana kisahnya? Bagi anda yang belum membaca,
jangan sungkan untuk menyisihkan Rp 63.000 dari uang anda untuk membeli
novel ini. Karena novel ini menyuguhkan pembelajaran tentang kehidupan,
menyuguhkan pembelajaran tentang masa lalu yang memilukan, tentang
kebencian kepada sesorang yang seharusnya disayangi, tentang kehilangan
dan cinta sejati, tentang kemunafikan. Bukankah hal-hal tersebut dekat
dengan kehidupan kita?